IKHLAS
URGENSI IKHLAS
Keikhlasan merupakan sendi utama peribadatan dalam dinul Islam.
Setiap manusia, khususnya kaum muslimin harus senantiasa mengerti akan hal ini,
sebab jika tidak maka akibatnya akan fatal. Peri-badatan yang selama ini
dijalankan baik yang sifatnya terkait waktu atau tidak, akan menjadi sia-sia
jika tidak disertai dengan niat yang ikhlas.
Ikhlas merupakan ajaran yang menjadi dasar diutusnya semua Rosul
Alloh. Ikhlas adalah pusat dan inti dari dakwah mereka. setiap Nabi dan Rosul
dituntut untuk mengajarkan Ikhlas kepada setiap kaumnya. Alloh subhanahu
wata’ala berfiman:
“Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka
sendiri (yang berkata): “Beribadahlah kalian semua kepada Alloh oleh kamu
sekalian, sekali-kali tidak ada Ilah selain Nya. Maka mengapa kalian tidak
bertakwa (kepada-Nya)”.
(QS. Al Mu’minun: (23) : 32)
Para ulama banyak yang mendefinisikan tentang ikhlas, dan
mayoritas mereka berpandangan sama yaitu ikhlas adalah menujukan seluruh ibadah
hanya kepada Alloh subhanahu wata’ala saja, bukan kepada yang
lain. Sebagaimana dikatakan Al Raghib dalam kitab Mufradat: “Ikhlas adalah
menyingkirkan segala sesuatu selain Alloh subhanahu wata’ala.”
Abu Al Qasim Al Qusyairi menyatakan bahwa seorang yang ikhlas
adalah “yang berkeinginan untuk menunaikan hak-hak Alloh subhanahu
wata’ala dalam setiap perbuatan ketaatannya. Dengan ketaatannya itu ia
ingin mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wata’ala, bukan
kepada yang lain, bukan kepada makhluk apapun dan juga bukan untuk mendapat
sanjungan orang lain, tetapi semuanya dipersembahkan dan hanya untuk
mendapatkan keridhoan Alloh .
Beliau juga pernah mengatakan: “Tidak salah jika dikatakan, bahwa
ikhlas adalah memurnikan perbuatan dari pamrih apa-pun terhadap makhluk.”
Sementara Izz ibn Abdussalam menyatakan: “Ikhlas adalah melakukan keta’atan
karena dan demi Alloh semata, bukan karena ingin diagung-kan dan dimuliakan
oleh manusia; juga bukan untuk mendapatkan keuntungan agama, atau menghindarkan
dari kemud-haratan dunia.”
Definisi lain dikemukakan Sahl ibn Abdullah bahwa ikhlas adalah
menjadikan seluruh gerak dan diam hanya untuk Alloh subhanahu wata’ala.
Inti makna kata ikhlas dari berbagai buku bahasa adalah bersih
atau suci dari noda yang mencampuri sesuatu.
Jadi, jika kita melihat dari uraian di atas, kita tidak melihat
adanya perbedaan dalam pengertian ikhlas baik dari segi istilah maupun bahasa.
Antara keduanya saling terkait dan berkesusaian. Ikhlas mengarah kepada upaya
memurnikan maksud dan tujuan kepada Alloh subhanahu wata’ala.
Artinya, semua ibadah yang dilakukan murni dimaksudkan dan ditujukan kepada
Alloh subhanahu wata’ala semata, bukan kepada yang lain.
Tegar dalam Keikhlasan
Ikhlas, yang sungguh-sungguh adalah hal yang paling sulit ditetapi
jiwa. Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam yang merupakan
seorang Nabi dan Rosul Alloh, tidaklah merasa tenang akan ujian keikhlasan ini.
Oleh sebab itu, beliau senantiasa berdoa dengan mengucapkan:
يَا مُقَلِّبَ اْلقُلُوْبَ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkan hatiku diatas
din-Mu (Islam) ini”.
(HR. At-Tirmidzi, Da’-wat, h. 89, 124. Ibn Majah, Kaffarat (Al
Musnad; 2: h. 26, 27, dan 127)
Maksud dan niat hati memang sering berbolak-balik dan
berubah-ubah. Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam bersabda:
“Sebenarnya, hati-hati hamba berada di antara 2 jari Dzat Yang Maha Pengasih.
Keadannya ter-gantung kepada kehendakNya, apakah Dia mau meluruskan itu atau
menyim-pangkannya. Neraca ada ditanganNya. Dia bisa mengangkat sebagian kaum,
dan merendahkan sebagian yang lainnya sampai hari kiamat.” (Diriwayatkan
oleh Ahmad dalam kitab Musnad, Ibn Majah juga dalam Musnad, dan Hakim
dalam Mus-tadrak dari al-Nawas. (Lihat Shahih al-Jami’; 5, h. 5623)
Kenapa hati berbolak-balik sebegitu cepat? Jawabannya adalah
karena persoalan yang menyelinap ke dalam hati begitu rumit dan beragam,
sedangkan hati sendiri begitu tipis dan mudah terpengaruh oleh berbagai
kecendrungan.”
Imam Syafi’I pernah memberi nasehat pada seorang temannya,
“Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk
mem-buat seluruh manusia ridha, maka ia tidak akan terjadi. Jika demikian, maka
ikhlas-kanlah amalmu dan niatmu karena Alloh subhanahu wata’ala.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti
ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil
pasir.”
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras
(nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka,
beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor,
ketika nasi di-kunyah akan tergigit kerikil dan batu-batu kecil itu.
Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat
lelah, dan segala pengor-banan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang
dilakukan dengan riya akan menye-babkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah
menyerah dan selalu kecewa ketika tujuan dunianya yang ia harapkan tidak ia
raih.
Karakteistik Keikhlasan
Setan akan senantiasa menggoda dan merusak amal-amal kebaikan yang
dilakukan oleh seorang hamba. Seorang hamba harus terus berusaha untuk melawan
iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu dengan Rabbnya kelak dalam keadaan
beriman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya hanya untuk Alloh subhanahu
wata’ala. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui
hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh
amal perbuatan kita kepada Alloh subhanahu wata’ala semata.
1. Banyak berdoa
Diantara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah
dengan banyak berdo’a kepada Alloh subhanahu wata’ala. Lihatlah
nabi kita Muhammad sholallohu’alaihi wasallam, di antara doa yang
sering beliau panjatkan adalah:
اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا
أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Ya Alloh, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan
menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap
perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.”
(Hadits Shahih riwayat Ahmad).
2. Konsisten dalam
beramal
Senantiasalah beramal dengan sungguh-sungguh, baik dalam keadaan
ramai atau saat berada dalam kesendirian, baik ada pujian ataupun celaan.
Ali rodhiyallohu’anhu berkata, “Orang yang riya memiliki
beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika berhadapan dengan orang
banyak. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika
dicela.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas
dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik
dengan berbagai macam cirinya.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman, “Orang-orang
yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu
untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Alloh mengetahui
orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu,
hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan hati
mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.” (QS.
At-Tau-bah (9): 44-45).
3. Memandang rendah
amal kebaikan sendiri.
Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong
kita agar amal perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang
dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang
dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga
diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap
amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan
dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia.
Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena
perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya.”
Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab,
“Seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab
Alloh akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Alloh dan Alloh
pun mengampuni dosa-nya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang
dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka
ia pun bertemu Alloh dalam keadaan demikian, maka Alloh pun memasukkannya ke
dalam neraka.”
Demikianlah pentingnya kita senantiasa menjaga keikhlasan dalam
diri kita. Semoga Alloh mengokohkan jiwa-jiwa kita dan menjadikan
keikhlasan selalu menyertai dalam setiap peribadatan dan perilaku kita. Wallohuwalliyuttaufiq.
Post a Comment