AS-SUNNAH
AS-SUNNAH
A. Definisi As-Sunnah
As-Sunnah (السنة) dalam
bahasa Arab berarti: “Jalan dan langkah kehidupan.” Sedangkan as- menurut
syara’ (dalam bahasan ini) adalah:
( كُلُّ مَا صَدَرَ عَنِ
النَّبِيِّ غَيْرُ الْقُرْاَنِ الْكَرِيْمِ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ
تَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ دَلِيْلاً لِحُكْمِ شَرْعِيِّ )
“Setiap hal yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam selain al-Qur’anul Karim berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan
(diamnya beliau terhadap suatu perkataan atau perbuatan yang dilakukan) yang
layak mejadi dalil suatu hukum syar’i.”
Sunnah berbeda dengan hadits. Sunnah adalah jalan keagamaan
yang ditempuh oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam yang tercermin dalam
perilakunya, sedangkan hadits bersifat informasi yang berkenaan dengan perilaku
Rosululloh saw.
B. Kedudukan as-Sunnah Sebagai Hujjah Syar’i
Dalam Syari’at Islam
1. As-Sunnah adalah wahyu yang maknanya dari
Alloh subhanahu wata’ala sedangkan lafazhnya dari Rosululloh shallallahu
‘alaihi wasallam. Dalil-dalil yang menunjukkan as-Sunnah itu sebagai wahyu
adalah:
a) Firman Alloh subhanahu wata’ala: “Dan tiadalah
yang dia ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS. an-Najm: 3-4]
b) Alloh subhanahu wata’ala berfirman: “Dan Alloh
telah menurunkan kepadamu Kitab dan hikmah....” [QS. an-Nisa’: 113]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “…al-Hikmah
menurut para ahli ilmu al-Qur’an yang aku dengar berarti as-Sunnah.”
(ar-Risalah 78)
2. Alloh subhanahu wata’ala memberi peringatan
kepada orang yang menentang Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dan
mengancam orang yang bermaksiat kepadanya dengan adzab yang pedih (neraka).
[Lihat: QS. An-Nur: 63 & QS. Al-Jin: 23]
3. Alloh subhanahu wata’ala menjadikan ketaatan
kepada Rosul-Nya sebagai dari konsekwensi keimanan dan menyelisihinya merupakan
tanda kemunafikan. [Lihat: QS. An-Nisa’: 65 & QS. An-Nisa’: 61]
4. Alloh subhanahu wata’ala memerintahkan
orang-orang yang berbeda pendapat agar mengembalikannya kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah serta menjadikan hal tersebut sebagai bukti keimanan. [Lihat: QS.
An-Nisa’ (4): 59]
5. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Wahai manusia aku tinggalkan kepada kalian dua perkara di mana
kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang dengan keduanya: Kitabulloh dan
Sunnahku.” (HR. Malik)
C. As-Sunnah sebagai Penjelas al-Qur’an
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan bersama
dengan al-Qur’an dalam menafsirkan makna dan menjelaskan ayat-ayat yang
diturunkan Alloh subhanahu wata’ala dalam kitab suci-Nya. Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berperan besar dalam menberikan pemahaman terhadap
al-Qur’an. Siapa saja yang ingin memahami al-Qur’an, maka ia harus mengetahui
hal-hal yang ada dalam sunnah, baik dalam hal maknanya, penafsirannnya maupun
pelaksanaan hukum-hukumnya. [Lihat: QS. an-Nahl: 64]
Contoh: Ibadah shalat. Bagaimana perintah shalat dalam
al-Qur’an dan bagaimana penjelasan shalat dalam sunnah Rosululloh shallallahu
‘alaihi wasallam. Alloh subhanahu wata’ala berfirman: “Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” [QS.
al-Baqarah (2): 43]
Lantas bagaimana cara mengerjakan shalat, Berapa jumlah
raka’at dalam shalat? Kapan waktu melaksanakan shalat? Semua hal tersebut tidak
diterangkan dalam al-Qur’an. Namun kita akan memperoleh penjelasannya dalam
as-Sunnah.
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat.” (HR. Bukhari)
Kemudian Beliau menjelaskan di antara cara sholatnya,
“Apabila engkau akan mengerjakan shalat, maka sempurnakan wudhumu, kemudian
menghadap ke kiblat dan bertakbirlah. Kemudian bacalah sesuatu yang mudah
bagimu dari al-Qur’an. Kemudian ruku’lah hingga engkau benar-benar tuma’ninah.
Kemudian bangunlah hingga tegak dalam berdiri. Kemudian sujudlah hingga engkau
benar-benar tuma’ninah. Kemudian bangkitlah hingga kamu duduk benar-benar
tuma’ninah. Kemudian kerjakanlah semua itu dalam shalatmu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hal di atas adalah sekelumit dari sekian banyak keterangan
yang ada dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah shalat.
Penjelasan as-Sunnah terhadap al-Qur’an bukan terbatas pada
aspek peribadatan, namun mencakup semua permasalahan di dalam agama Islam.
Seperti masalah aqidah, muamalah, jual-beli, hukum penegakan had zina, had
pencurian dan lain-lain.
Marilah kita perhatikan firman Alloh subhanahu wata’ala yang
memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk memotong tangan para pencuri.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Alloh. Dan Alloh Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” [QS. al-Maidah: 38]
Dari ayat di atas, bagaimana cara kita memotong tangan
pencuri? Berapa batasan jumlah pencurian yang harus ditegakkan
hukuman? Semua pertanyan-pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban yang akurat
lagi valid dari As-sunnah.
D. Kedudukan Hadits Ahad Dalam Aqidah
Hadits yang benar-benar berasal dari Rosululloh shallallahu
‘alaihi wasallam tidak boleh ditentang, diingkari atau didustakan, meskipun
hadits ahad (hadits yang pada asalnya diriwayatkan oleh satu perawi). Sehingga
hadits-hadits ahad yang shahih dapat digunakan sebagai dasar aqidah.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hadits ahad harus
diterima dalam aqidah, di antaranya:
a. Firman Alloh subhanahu wata’ala: “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian
menyesal atas perbuatan kalian itu.” [QS. Hujarat (49): 6]
Ayat ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits
seorang yang terpercaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia
tidak terlibat kefasikan-kefasikan pada apa yang diinformasikannya baik dalam
masalah aqidah maupun yang lain.
b. Para sahabat senantiasa menerima dengan mutlak
setiap kabar yang diterima dari Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu
pula yang mereka terima dari seorang sahabat yang meriwayatkan dari Rosul.
Mereka tidak akan berkata: “Saya tidak akan menerima riwayat darimu karena
engkau menyampaikannya seorang diri.”
c. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam banyak
mengirim dan mengutus seorang sahabat sebagai da’i ke suatu negeri untuk
mengajarkan Islam dan risalah Alloh. Seperti kisah pengutusan Mu’adz bin Jabal
radhiallahu ‘anhu ke Yaman, Abu Ubaidah Amr bin Jarah radhiallahu ‘anhu ke
negara Najran, Dihyah al-Kalbi radhiallahu ‘anhu membawa surat kepada pembesar
Basrah.
d. Ketika terjadi perpindahan arah kiblat dari
arah Baitul Maqdis ke arah Ka’bah, ada seorang sahabat yang memberitahukannya
kepada kaum muslimin yang sedang shalat subuh di Masjid Quba. Maka mereka pun
menerima berita ini dan beralih kiblatnya. (HR. Bukhari)
Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak
bisa dijadikan dasar dalam aqidah termasuk perbuatan mengada-ada yang tidak ada
dasarnya dalam agama. Dan tiga generasi terbaik dari umat ini tidak ada yang
mengatakan demikian, bahkan hal itu tidak pernah terlintas pada mereka.
Post a Comment