IJMA’
IJMA’
A. Makna
Ijma’
Ijma’ (الإجماع) adalah
mashdar (bentuk) dari ajma’a (أَجْمَعَ) yang
memiliki dua makna:
1. Tekad
yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدَ) seperti: (أَجْمَعَ
فُلاَنًا عَلَى سَفَرٍ) (fulan bertekad kuat untuk melakukan
perjalanan).
2. Kesepakatan (اَلإِتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعُ
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) (kaum Muslimin sepakat tentang
sesuatu).
Sedangkan
makna ijma’ menurut istilah adalah:
“Kesepakatan
para mujtahid umat Muhammad setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan
terhadap perkara-perkara tertentu pula.”
Menurut
definisi di atas, kandungan dasar pokok ijma’ antara lain:
1. Kesepakatan (اَلإِتِّفَاقُ) artinya
kesatuan pendapat, baik ditunjukkan oleh perkataan atau dengan sikap.
2. Para
mujtahid (الْمُجْتَتِهدُوْنَ). Ijtihad adalah
kemampuan yang dimiliki oleh seorang alim untuk mengistimbatkan (menetapkan)
hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang
mujtahid adalah pengarahan kemampuan (secara maksimal) dalam menetapkan
ketentuan hukum.
3. Umat
Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (umat yang menerima seruan dakwah
Nabi.
4. Setelah
wafatnya Nabi, sehingga kesepakatan kaum Muslimin ketika beliau hidup tidak
disebut ijma’.
5. Di
dalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6. Pada
perkara-perkara tertentu yaitu perakar-perkara syari’ah atau
perkara-perkara yang bukan syari’ah tetapi memiliki hubungan dengan syari’at.
(Al-Ibhaj fi Syarhi Minhaj)
B. Ijma’
Merupakan Sebuah Dalil
Jumhur
ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah syar’i (dasar hukum
syariat)
Alloh
berfirman:
“Dan
barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’ [4]: 115)
Sesungguhnya
ayat ini menjadi dalil bahwa ijma’ umat ini adalah hujjah yang terpelihara dari
kesalahan. Dikarenakan Alloh mengancam orang yang menyelisihi jalan kaum
Mukminin dengan kehinaan dan api neraka.
Rosululloh
bersabda: “Sesungguhnya Alloh tidak menghimpun umatku di atas kesesatan. Dan
tangan Alloh bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyeleweng, maka ia menyeleweng
ke neraka.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)
C. Ijma’
Bersandar pada Dalil
Madzhab
jumhur ulama menyatakan bahwa ijma’ wajib besandar kepada dalil. Hal itu
dishohihkan oleh sebagian ahli ilmu, bahkan al-Amidiy pun menyatakan
adanya kesepakatan ulama tentang hal tersebut dan beliau tidak menghiraukan
orang yang berbeda dengan pendapatnya tersebut. dan jumhur ulama pun menyatakan
bahwa dalil yang dijadikan standar jugu bisa bersifat qoth’i (landasan hukum
yang mutlak), baik dari al-Qur’an atau Sunnah Mutawatir serta yang bersifat
dzonny (landasan hukum yang tidak mutlak), seperti hadits ahad dan
lain-lain. (Baca al-Ihkam: 1/193. Majmu’ al-Fatawa: 19/169)
D. Faidah
Ijma’
Para
ulama berbeda pendapat tentang faidah ijma’, apakah memberi faidah yang qoth’i
atau dzonni:
1. Ijma’
adalah hujjah qoth’i. Al-Ashfahani berkata: “Inilah yang masyhur.
2. Ijma’
yang disepakati oleh para ulama mu’tabar (diakui kualitas keilmuannya), maka
dianggap qoth’i sedangkan ijma’ yang tidak disepakati (seperti ijma’ sukutiy
yaitu ijma’ yang penetapannya tidak ditetapkan dengan tegas), maka dinilai
dzonniy. Inilah pendapat yang tepat, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul
Islma Ibnu Taimiyyah. (Baca Irsyadul Fuhul: 78-79 dan Majmu’ al-Fatawa: 7/39)
E. Hukum
Menyalahi Ijma’
Orang
yang menyalahi ijma’ terbagi dalam 2 golongan:
1. Orang
yang mengingkari kehujjahan (dalil) ijma’. Sebagian ulama menganggap orang ini
kafir. Pengarang Kasyful Asror berkata: Barangsiapa yang mengingkari ijma’,
maka berarti ia membatalkan seluruh agamanya. Karena poros ushuluddin dan
sumber rujukannya adalah ijma’ kaum Muslimin. (Kasyful Asror: 3/266)
Akan
tetapi, sebagaimana telah dimaklumi bahwa ushuluddin dan poros utamanya adalah
pada al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dilalah (dalil)nya menurut kebanyakan para
ulama, atas dasar ijma’, baik dzonniy maupun qoth’i, karena hal tersebut
bukanlah sesuatu yang disepakati. Untuk itu orang yang mengingkari dalil ijma’
tidak dianggap kafir, akan tetapi hanya dianggap pelaku bid’ah atau fasiq. (Baca
al-Burhan: 1/724, 725)
2. Orang
yang menyalahi suatu hukum yang ditetapkan atas dasar ijma’.
Hal ini
memiliki beberapa tingkatan:
a) Hukum
yang telah diketahui secara pasti dalam agama. Semuanya telah menjadi ijma’
baik bagi orang awam maupun orang khusus (ulama), seperti keesaan Alloh,
Rububiyah-Nya, Alloh satu-satunya yang berhak diibadahi, kenabian Muhammad,
sebagai penutup para Rosul. Nash-nash yang menunjukkan terjadinya hari kiamat,
hari pembalasan, hari berbangkit, perhitungan, jannah dan nar, ushul-ushul
syari’at dan ibadat seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Maka,
tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengingkarinya adalah kufur.
b) Hukum
yang ditetapkan oleh ijma’ qoth’i. Seperti haramnya mengawinkan seorang gadis
dan bibinya sekaligus, haramnya berdusta kepada Rosululloh dan lain-lain. Maka
orang yang mengingkarinya juga kufur. Karena, ia mengingkari hukum syar’i yang
ditetapkan oleh dalil qoth’i.
c) Hukum
yang ditetapkan oleh ijma’ dzonni (seperti ijma’ sukutiy), maka orang yang
mengingkarinya dianggap fasiq, ahli bid’ah dan tidak kufur. (Asyiyah al-Banni:
2/201-202 dan Majmu’ Fatawa: 7/39)
Post a Comment